Kenapa Imam Mazhab Tidak Pakai Hadits Bukhari dan Muslim?
Temboro Berda'wah_Terkadang kita bertanya mengapa para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim?
Menurut Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA banyak orang awam yang tersesat karena mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang penuh dengan rasa dengki dan benci. Menurut kelompok ini Imam Mazhab yang 4 itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahi seenaknya. Itulah fitnah kaum akhir zaman terhadap ulama salaf asli.
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA mengatakan bahwa para imam mazab tidak memakai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim karena:
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum
Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Sementara Imam
Malik wafat sebelum Imam Bukhari lahir. Begitu pula saat Imam Syafi’ie
wafat, Imam Bukhari baru berumur 8 tahun sementara Imam Muslim baru
lahir. Tidak mungkin kan para Imam Mazhab tsb berpegang pada Kitab
Hadits yang belum ada pada zamannya?
Kedua, menurut Ustad Ahmad, karena
keempat imam mazhab itu merupakan pakar hadits paling top di zamannya.
Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu
hidup di zaman yang lebih dekat ke Rasulullah SAW dibanding Imam Bukhari
dan Imam Muslim, maka hadits mereka lebih kuat dan lebih terjamin
keasliannya ketimbang di masa-masa berikutnya.
Dalam teknologi, makin ke depan makin
maju. Komputer, laptop, HP, dsb makin lama makin canggih. Tapi kalau
hadits Nabi, justru makin dekat ke Nabi makin murni. Jika menjauh dari
zamannya, justru makin tidak murni, begitu tulis Ustad Ahmad Sarwat.
Keempat, justru Imam Bukhari dan Muslim
malah bermazhab Syafi’ie. Karena hadits yang mereka kuasai jumlahnya
tidak memadai untuk menjadi Imam Mazhab. Imam Ahmad berkata untuk jadi
mujtahid, selain hafal Al Qur’an juga harus menguasai minimal 500.000
hadits. Nah hadits Sahih yang dibukukan Imam Bukhari cuma 7000-an.
Sementara Imam Muslim cuma 9000-an. Tidak cukup.
Ada beberapa tokoh yang anti terhadap
Mazhab Fiqih yang 4 itu kemudian mengarang-ngarang sebuah nama mazhab
khayalan yang tidak pernah ada dalam sejarah, yaitu mazhab “Ahli
Hadits”. Seolah2 jika tidak bermazhab Ahli Hadits berarti tidak pakai
hadits. Meninggalkan hadits. Seolah2 para Imam Mazhab tidak menggunakan
hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab
para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan
dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli
hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana
ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath
hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua
hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah
dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama
dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan
bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Imam Syafi’ie membahas masalah kalau ada
beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan,
apa yang harus kita lakukan? Beliau menulis kaidah itu dalam kitabnya :
Ikhtilaful Hadits yang fenomenal.
Cuma baru tahu suatu hadits itu shahih,
pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan
hadits baru langkah pertama dari 23 langkah dalam proses istimbath
hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Entah orientalis mana yang datang
menyesatkan, tiba-tiba muncul generasi yang awam agama dan dicuci
otaknya, dengan lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai bodoh
dalam ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan
secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab
itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari
Allah yang sudah pasti benar. Padahal cuma Al Qur’an yang dijamin
kebenarannya. Hadits sahih secara sanad, belum tentu sahih secara matan.
Meski banyak hadits yang mutawattir secara sanad, sedikit sekali hadits
yang mutawattir secara matan. Artinya susunan kalimat atau katanya sama
persis.
Orang-orang awam dengan seenaknya
menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila
suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam
mazhab itu tidak paham dengan hadits shahih, lalu menggantungkan
mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal para ulama mazhab itu menolak
suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak
shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu
shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung
hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat
itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli
hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka
menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan
dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan
seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu
melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah
menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu
haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada
orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada
ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab
berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab
tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih
atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita
sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam
mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari
dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan
persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan
keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits
dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya
yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun,
tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering
diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya
kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Menurut Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Hadits di zaman Imam Bukhari yang hidup di abad 3 Hijriyah saja sudah
cukup panjang jalurnya. Bisa 6-7 level perawi hingga ke Nabi. Sementara
jalur hadits Imam Malik cuma 3 level perawi. Secara logika sederhana,
yang 3 level itu jelas lebih murni ketimbang yang 6 level.
Jika Imam Bukhari hidup zaman sekarang di
abad 15 Hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Sudah
tidak murni lagi. Beda 3 level saja bisa kurang murni. Apalagi yang beda
50 level.
Jadi Imam Bukhari dan Imam Muslim bukan
satu2nya penentu hadits Sahih. Sebelum mereka pun ada jutaan ahli hadits
yang bisa jadi lebih baik seperti Imam Malik dan Imam Ahmad karena
jarak mereka ke Nabi lebih dekat.
https://kabarislamia.com/2015/04/09/kenapa-imam-mazhab-tidak-pakai-hadits-bukhari-dan-muslim/