Tanggung Jawab Terhadap Anak Istri Ketika Berda'wah
jamaah-tabligh-temboro berda'wah |
Temboro Berda'wah_Bagaimanakah tanggung jawab seorang Da'i terhadap anak istri yang ditinggal dirumah ketika kita sedang berda'wah "Khuruj Fi Sabilillah?
Allah berfirman :
“Katakanlah : Jika Bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaanmu yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiaannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak akan memberi petunujuk kepada orang-orang yang fasik.” (9 : 24)
Inilah definisi dunia menurut ulama, dan jangan sampai keduniaan kita menghalangi kita dari berjuang di jalan Allah. Namun walaupun begitu seseorang yang akan pergi di jalan Allah ini hendaklah kepergiannya ini harus di dasari atas Musyawarah dari Mesjid Jami Kebon Jeruk yang merupakan tempat yang bertanggung jawab dalam mengkoordinir jemaah gerak di seluruh Indonesia. Sebelum keberangkatan maka orang tersebut akan di tafakkud ( analisa kesiapan ) terlebih dahulu :
1. Bagaimana kesiapan keluarga yang ditinggalkan ?
2. Bagaimana bekal yang ditinggalkan untuk keluarga ?
3. Bagaimana dengan pekerjaan atau toko yang ditinggalkan ?
4. Bagaimana dengan masalah-masalah yang akan di tinggalkan ?
Intinya bagaimana perginya seseorang di jalan Allah ini harus di iringi dengan bekal yang cukup dan persiapan yang benar. Jangan kita pergi dengan kesan yang tidak baik yaitu meninggalkan anak istri yang pada akhirnya kepergian kita justru menterlantarkan mereka. Inilah pentingnya kesiapan keluarga yang akan ditinggal dari segi pemahaman, amalan, dan kecukupan bekal. Maka atas perkara ini perlu kita mempersiapkan kesiapan keluarga kita untuk ditinggal. Permasalahannya hari ini banyak yang tidak mengerti manfaat dari seorang ayah dan suami yang meninggalkan keluarganya di jalan Allah.
Manfaat Pelajaran Keimanan bagi Keluarga yang ditinggalkan :
Seorang istri dan anak-anaknya hari ini mempunyai kecenderungan sangat bergantung kepada suami dan ayahnya sebagai kepala keluarganya. Sedangkan dalam masalah tauhid, bergantung kepada selain Allah ini adalah haram hukumnya. Apa jadinya jika anak istri kita mati membawa keyakinan yang salah yaitu bergantung bukan kepada Allah tetapi kepada mahluk atau selain Allah yaitu suami atau ayah dari anak-anaknya.
Logikanya :
Bila seorang suami atau seorang ayah pergi di jalan Allah maka insya allah ini akan menjadi sarana tarbiyat atau pendidikan keimanan bagi keluarga. Dengan ditinggalnya istri dan anak di jalan Allah, ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk melatih diri mereka menyelesaikan masalah dengan amal-amal agama selama ditinggal sang suami atau sang ayah. Mereka akan belajar membenarkan gantungan dari kepada mahluk atau ayah atau suami mereka menjadi bergantung hanya kepada Allah. Inilah yang harus di persiapkan seorang suami dan seorang ayah sebelum meninggalkan keluarga mereka. Jadi pergi di jalan Allah ini bukan hanya sarana perbaikan iman bagi orang yang pergi di jalan Allah, tetapi juga sarana tarbiyat keimanan untuk keluarga. Sehingga kitapun yang mempunyai kecenderungan pemikiran, “kalau ada saya maka akan beres”, ini bisa dihilangkan. Padahal pemikiran “kalau ada saya maka akan beres” dalam ilmu tauhid ini merupakan syirik. Untuk bisa menghilangkan ini perlu seorang suami atau ayah ini pergi di jalan Allah belajar menemukan yang namanya hakekat Tawakkal, berserah diri kepada Allah. Dan lagi semua pahala dari amalan yang dilakukan suaminya atau ayahnya ketika keluar di jalan Allah akan mengalir kepada keluarga yang ditinggalkan.
Kesalah Fahaman I :
Hari ini banyak orang mempertanyakan tentang kebutuhan bathiyah seorang istri. Padahal maksud dari kebutuhan bathiniyah ini adalah kebutuhan akan bekal agama bukan kebutuhan seksual. Sekarang mana yang lebih penting kebutuhan seksual untuk istri dan perhatian materi seorang ayah atau kebutuhan agama untuk keluarga. Tentu jawabnya nafkah bathiniyah lebih penting yaitu bekal agama buat keluarga. Seorang suami dan ayah ini akan dimintai pertanggung jawaban mengenai bekal agama bagi keluarganya oleh Allah Ta’ala sebagai pemimpin keluarga dan ini merupakan salah satu solusi untuk mempersiapkan bekal kehidupan bagi keluarga kita.
Kesalah fahaman II :
Orang mengira ketika seorang ayah atau suami pergi di jalan Allah maka mereka sudah di cap sebagai orang yang menterlantarkan keluarga. Padahal kalau kita lihat perjalanan Nabi Ibrahim AS yang meninggalkan anak dan istrinya tanpa bekal di padang pasir atas perintah Allah, Apakah itu termasuk menterlantarkan keluarga ? Apakah Ibrahim AS dzolim kepada keluarganya ? Apakah Allah dzolim memerintahkan Ibrahim AS meninggalkan keluarganya di padang pasir ? tentu tidak. Semuanya itu dilakukan atas perintah Allah dan dibalik perintah Allah pasti ada kejayaan dan kesuksesan. Perginya suami atau seorang ayah ini di jalan Allah inipun demi menjalankan perintah Allah yaitu Dakwah Illallah, mengajak manusia taat kepada Allah.
Asbab menjalankan perintah Allah ini keyakinan Ibrahim AS beserta anak dan istrinya terperbaiki bahwa Allah lah yang memelihara mereka. Sang istripun asbab demikian menjadi semakin yakin bahwa Allahlah yang memelihara mereka di padang pasir. Di padang Pasir yang kering kerontang dia bertanya kepada sang suami ketika Ibrahim AS hendak meninggalkan mereka di padang pasir, “Apakah ini perintah Allah ?” Ibrahim AS hanya menganggukkan kepalanya, dan Siti Hajar AS langsung meyakininya bahwa Allah tidak akan mungkin menterlantarkan mereka. Di padang pasir yang tidak ada apa-apa dan tidak ada suami yang menolong, di situlah Siti Hajar AS mendapatkan keyakinan yang benar kepada Allah Ta’ala. Bagaimana dengan keyakinan Ismail AS, asbab pendidikan agama yang diterima dari ibunya, maka Ismailpun mempunyai keyakinan yang lurus kepada Allah SWT. Bagaimana keyakinan Ismail AS yang terbentuk melalui tarbiyah Allah ketika Allah meminta ayahnya meninggalkannya di padang pasir dan didikan ibunya selama pertumbuhannya tanpa seorang ayah. Ketika Ismail AS mengetahui bahwa ayahnya mendapatkan perintah dari Allah Ta’ala untuk menyembelih dirinya maka ismail AS yang masih kecil ini tetap menerimanya dengan ikhlas.
Begitu pula dalam perjalanan kisah Nabi Musa AS. Suatu ketika istri Musa AS sedang sakit dan kedinginan, Musa AS yang biasa menyalakan api dengan kayu agar dapat memberikan kehangatan buat istrinya, kali ini apinya tidak menyala. Lalu Allah nampakkan kepada Musa AS api yang menyala dari bukit Thursina. Demi istrinya, Musa AS, sama seperti kita rela bersusah-susah pergi jauh-jauh untuk mencarikan obat buat istrinya yang sedang kedinginan. Ketika sampai di bukit Thur, Api yang dilihatnya ternyata tidak ada. Disini Musa AS hendak ditarbiyah oleh Allah Ta’ala, bahwa tidak perlu api untuk menghangatkan, atau makanan untuk mengenyangkan, atau air untuk menghilangkan haus, karena semua itu manfaat dan mudharatnya atas izin dari Allah. Itulah yang Allah Ta’ala ajarkan kepada Musa AS ketika tongkatnya menjadi ular lalu menjadi tongkat kembali atas perintah dari Allah Ta’ala. Memang secara logika perintah Allah tidak masuk diakal, ini karena Allah sembunyikan QudratNya dibalik perintahNya. Namun untuk menyempurnakan Iman dan Yakin ini perlu pengorbanan dengan jiwa dan harta. Maka walaupun Musa AS masih dalam keadaan belum sempurna keyakinannya, Allah tetap perintahkan Musa AS untuk pergi Dakwah kepada Firaun. Siapa itu Firaun yaitu Ahli Dunia yang mengaku sebagai Tuhan karena merasa mampu melakukan segala-galanya.
Disitu Musa AS harus membuat keputusan, antara menemani istri yang sedang sakit dan kedinginan, atau menunaikan perintah Allah. Istri jelas-jelas sedang sakit tetapi Allah malah menyuruh Musa AS untuk meninggalkan istrinya pergi di jalan Allah. Perintah Allah ini sangat bertentangan dengan Nafsu Musa AS ketika itu. Ada masalah tetapi malah disuruh pergi di jalan Allah. Musa AS bertanya kepada Allah bagaimana dengan istrinya lalu Allah perintahkan Musa AS untuk memukul batu dengan kayunya. Setalah tiga kali memukul hingga batu itu pecah menjadi batu yang lebih kecil didapati oleh Musa AS, seekor ulat yang sedang memuji Allah karena Allah tidak melupakan Rizkinya. Ulat dalam batupun masih dalam pemeliharaan Allah. Lalu Musa berkata bahwa Firaun mempunyai Bala Pasukan yang banyak, dan ia meminta Harun diangkat sebagai Nabi sebagai teman yang membantunya. Allah berkata mahfum kepada Musa AS untuk tidak takut karena “Aku bersama Engkau”. Namun karena Musa AS memberikan alasan agar Harun AS dapat membantunya dalam menyampaikan Dakwah kepada Firaun, akhirnya do’a Musa AS ini diterima. Walaupun dalam kondisi yang sangat sulit, Musa AS nafikan Nafsunya dan buat keputusan untuk ikuti maunya Allah, keluar ke negeri jauh. Tidak ada Musyawarah dengan istri bahkan ia meninggalkan istri dalam keadaan sakit. Jadi apa yang di korbankan Musa ketika itu, ada 3 perkara :
1. Mal atau Harta : Berupa domba2xnya dan tempat tinggalnya
2. Hal atau Keadaan : Tanggung jawab kepada istri yang sedang sakit
3. Al atau Keluarga : Istri yang dicintai
Inilah Pengorbanan Musa AS demi perintah Allah, dia nafikan (acuhkan) keadaannya dan hanya membenarkan perintah Allah. Hari ini kita logikan perintah Allah, sehingga kita bisa mudah mengikuti Nafsu kita. Istri dan Anak belum diberi uang belum bisa berangkat. Dikira kita ini yang menghidupkan dan memberi makan mereka sehingga perintah Allah kita logikan. Jaga anak dan istri kan perintah juga, nanti kalau sudah siap baru saya berangkat. Siapnya kita ini adalah menurut Nafsu beda dengan siapnya Musa AS. Ini karena kita belum mengambil keputusan, sehingga perintah Allah ini belum bisa kita kerjakan secara sempurna.
Begitu juga pendidikan yang diterima oleh para Sahabat RA. Bagaimana Abu Bakar RA tidak meninggalkan harta sedikitpun untuk keluarga ketika pergi di jalan Allah. Semua sahabat ketika takaza jihad atau dakwah datang maka mereka meninggalkan semua perkara yang mereka cintai untuk memenuhi panggilan agama. Sehingga kita menemukan banyak makam sahabat di luar negeri seperti Saad bin Abi Waqqash RA di China, Abu Ayub Al Anshari di Turkey, Tariq bin Ziyad RA di Spanyol, dll. Kalau sahabat kerjanya hanya memikirkan keluarga saja maka islam tidak akan mungkin tersebar keseluruh dunia, dan kita mungkin masih menjadi orang penyembah berhala. Hari ini banyak orang yang marah asbab melihat mereka yang pergi meninggalkan keluarga untuk pergi di jalan Allah. Sedangkan hari ini kalau kita bicarakan orang yang meninggalkan anak istrinya demi kepentingan dunia tidak ada yang ambil pusing atau protes. Tetapi orang yang meninggalkan anak istrinya demi perbaikan agamanya banyak yang protes dan tidak terima. Berapa banyak hari ini perempuan lagi bukan laki-laki yang meninggalkan keluarganya untuk kerja di luar negeri ? apa ada yang protes ? berapa banyak keluarga yang ditinggal ayahnya atau suaminya ke luar negeri karena dinas atau belajar di universitas mengambil gelarnya ? apakah ada yang tidak terima ? padahal ini semua hanya demi kepentingan dunia saja. Sedangkan ketika di jalan Allah ini yang jemaah kerjakan adalah demi kepentingan agama, akherat, ummat, dan keluarganya. Dan lagi segala hak atas keluarga dan Kewajiban-kewajiban yang lainnya akan gugur jika dihadapkan dengan kepentingan Jihad buat agama ataupun buat mencari ilmu. Ini karena Jihad dan menuntut ilmu ini lebih tinggi prioritasnya dibanding amal-amal lain. Seperti Nabi SAW dan para Sahabat RA yang meninggalkan keluarga mereka demi membela agama. Jadi Jihad ini harus didahulukan diatas segala kewajiban kecuali sholat. Hak istri, hak anak, hak bertetangga, semuanya gugur jika takaza ( pembentangan kepentingan menyelamatkan agama ) sudah di tawarkan. Jadi Jihad lebih utama dibanding amal-amal lain menurut kondisi atau keadaan-keadaan tertentu.
Kesalah fahaman III :
Banyak orang bilang kalau mau jihad, memberi nafkah fakir miskin juga jihad, mencari uang untuk menafkahai keluarga juga jihad, membela hukum islam juga jihad, membela yang orang yang di dzolimi juga jihad, kenapa harus susah-susah pergi di jalan Allah ? inilah anggapan mereka yang kurang pengetahuannya. Dalam ilmu agama setiap keadaan itu ada amal-amal yang di dahulukan atau di prioritaskan. Tidak mungkin ketika orang sedang berperang, ummat sedang terancam, kita lebih memilih duduk saja dirumah dan berdzikir dengan mengatakan dzikir itu jihad juga, lalu meninggalkan jihad membela agama Allah, ini namanya kebodohan. Dalam keadaan sekarang ketika kemaksiatan sudah merajalela dan penentangan terhadap perintah Allah sudah dilakukan secara terang-terangan, maka dengan adanya gerakan untuk keluar di jalan Allah dalam rangka memperbaiki diri dan menyampaikan agama maka jihad yang seperti ini lebih tepat. Jihad yang seperti apa maksudnya ? yaitu dengan harta dan diri meluangkan waktu untuk pergi di jalan Allah.
Nasehat dari orang tua dalam kerja dakwah ini :
“ Hari ini manusia sibuk membuat usaha yang tidak akan ditanya oleh Allah di pengadilan Agama nanti yaitu perkara rizki, dan melupakan perkara yang pasti akan ditanya oleh Allah yaitu agama. Asbab ketidak pahaman kita hari ini, kita berani menjawab bahwa mencari rizki itu wajib dan memperjuangkan agama itu tidak wajib. Cari rizki itu wajib hukumnya, betul itu, tetapi ini hanya keperluan bukan sebagai maksud. Kita Allah kirim ke dunia ini bukan untuk berdagang, bertani, bermewah-mewahan, bersaing dalam teknologi, tetapi kita dikirim untuk Ibadat kepada Allah, menyempurnakan kehendak Allah atas diri kita di dunia ini. Mewujudkan Agama dalam diri kita dan menyampaikan agama pada setiap orang di seluruh alam, inilah maksud Allah kirim kita kemuka bumi. Sholat itu wajib dan wudhu itu juga wajib, tetapi wudhu itu hanya keperluan saja. Apa yang terjadi jika orang maunya wudhu saja karena wajib sehingga gak sholat-sholat. Sudah mubazir Airnya, dan Allah akan marah karena telah melupakan maksud yaitu sholat. Kita boleh berdagang, bertani, dan lain-lain, tetapi ini hanya keperluan saja, jangan sampai menjadi maksud. Kita pergi haji bukan untuk tidur-tiduran saja, tidur itu hanya keperluan, jangan sampai kita datang ke mekah hanya untuk tidur saja tetapi melupakan maksudnya yaitu naik hajinya. Ali Karamallah Wajhahu berkata kalau manusia itu fikirnya hanya memikirkan apa yang akan masuk kedalam perutnya maka derajatnya disisi Allah sama dengan apa yang telah dikeluarkan dari perutnya. Beginilah hasilnya jika manusia tidak diperjuangkan yaitu mereka akan menjadi rendah dan hina. Derajatnya di sisi Allah seperti apa yang dikeluarkan perutnya yaitu kotoran, tidak ada nilai, rendah, bahkan tidak pantas untuk dilihat atau dipandangi.”